Dalam suatu penjelasannya, KH. Quraisy Shihab menyatakan bahwa kata lebaran dasarnya adalah “lebar”. Kata lebar menunjukkan arti bahwa sesuatu itu tidak lagi sempit, tidak terkekang, tidak terikat, tidak terbebani, bebas dan lain sebagainya. Oleh karena itu, kata kejadian lebaran merujuk pada suatu makna bahwa manusia sudah terlepas dari beban yang melingkupi dirinya, manusia terbebas dari keterikatannya. Makna-makna ini dapat bermakna dalam konteks positif maupun negatif. Tetapi kita hanya akan membicarakan konteks positifnya saja.
Saya tidak akan terlalu dalam membahas kata “lebaran” karena saya bukan ahli bahasa, tetapi saya hanya akan merujukkan kata “lebaran” pada Idul Fitri. Dengan demikian kita menyebutkan kata “lebaran” berarti hari raya Idul Fitri, hari raya setelah kita melaksanakan ibadah puasa selama sebulan penuh.
Ibadah puasa pada bulan Ramadhan telah melatih kita untuk menjadi muslim yang bertakwa. Takwa dalam konteks fisik maupun fisik, secara tekstual maupun kontekstual. Takwa yang mengembalikan kita pada fitrah kita sebagai manusia dan makhluk ciptaan Allah. Dengan puasa kita me-”reset” kondisi fisik dan psikis kita agar tetap sesuai dengan jalan yang telah digariskan oleh Allah swt. Bahkan puasa mengembalikan kita pada pemahaman bahwa antara teks (nash) dengan konteks tidaklah berlawanan sehingga ketakwaan kita tidak kehilangan konteks, yaitu menumbuhkan kesadaran personal dan kesadaran sosial.
Seringkali dalam hidup kita hanya mementingkan diri sendiri dan merugikan orang lain, kita lebih memperhatikan orang lain, mencemooh orang lain, sementara kita tidak pernah memperhatikan diri sendiri. Keegoisan demi keegoisan telah membutakan mata hati kita untuk melihat kebenaran. Kita dibutakan oleh kebesaran diri kita, kepandaian kita, kekayaan kita, merasa unggul di hadapan orang lain. Dengan segala kelebihan itu, kita menjadi angkuh, bahkan untuk menerima kebenaran yang diungkapkan oleh orang yang lebih rendah dari kita.
Dalam konteks ini, kita dapat memahami “lebaran” berarti kita melepaskan diri dari segala bentuk atribut-atribut yang menempel dalam diri kita. Atribut yang sering melupakan kita terhadap kebesaran Tuhan, atribut yang membedakan kita pada kelas-kelas sosial di lingkungan kita. Melepaskan beban yang menggelayut dalam hati, hingga kita sulit memaafkan orang lain dan saudara-saudara kita. Kita lepaskan semua hal yang dapat menghalangi kedekatan kita pada Tuhan Yang Maha Pemberi Maaf.
Setelah kita melepaskan semua beban itu, semoga kita dapat melebarkan hati dan pikiran kita, memberikan keleluasan dalam perasaan-perasaan kita untuk segera meminta maaf jika telah bersalah; atau segera memberi maaf jika ada saudara kita yang telah melukai hati kita. Maka dalam keadaan ini, tidak ada lagi yang namanya kesempitan hati dan pikiran. Kita semua menjadi pemaaf, ramah, berbaik hati dengan saudar-saudara, tetangga, rekan kerja, sahabat, teman, dan lain sebagainya.
Mari kita hormati hari yang fitri ini dengan saling berbagi maaf dan berbagi kebahagiaan. Kebahagiaan bukan saja karena kita telah menyelesaikan puasa selama satu bulan, tetapi juga karena kesadaran dan kesabaran kita untuk memulai lagi kehidupan untuk menjadi lebih baik hingga kita bertemu kembali dengan Ramadhan tahun depan. Amin...